1. Nikah Syighor
Bentuk nikah syighor adalah si A menikahkan anak, saudara atau yang berada di bawah perwaliannya pada si B, namun dengan syarat si B harus menikahkan pula anak, saudara atau yang di bawah perwaliannya pada si A. Bentuk nikah syighor terserah terdapat mahar ataukah tidak. Keharaman bentuk nikah seperti ini telah disepakati oleh para ulama (baca: ijma’), namun mereka berselisih apakah nikahnya sah ataukah tidak. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah seperti ini tidaklah sah. Alasan jumhur adalah dalil-dalil berikut ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata :
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الشِّغَارِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor.”
(HR. Muslim no. 1417)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ
أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ ،
لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor
yang bentuknya: seseorang menikahkan anaknya pada orang lain namun ia memberi
syarat pada orang tersebut untuk menikahkan anaknya untuknya dan di antara
keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415)
Dari Abu Hurairah, ia berkata :
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الشِّغَارِ. زَادَ ابْنُ نُمَيْرٍ
وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ زَوِّجْنِى ابْنَتَكَ
وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِى أَوْ زَوِّجْنِى أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bentuk nikah
syighor.” Ibnu Numair menambahkan, “Bentuk nikah syighor adalah seseorang
mengatakan pada orang lain: ‘Nikahkanlah putrimu padaku dan aku akan menikahkan
putriku padamu, atau nikahkanlah saudara perempuanmu padaku dan aku akan
menikahkan saudara perempuanku padamu’.” (HR. Muslim no. 1416)
Dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz Al A’roj, ia berkata :
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ أَنْكَحَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَكَمِ ابْنَتَهُ وَأَنْكَحَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنَتَهُ وَكَانَا جَعَلاَ صَدَاقًا فَكَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى مَرْوَانَ يَأْمُرُهُ بِالتَّفْرِيقِ بَيْنَهُمَا وَقَالَ فِى كِتَابِهِ هَذَا الشِّغَارُ الَّذِى نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
“Al ‘Abbas bin ‘Abdillah bin Al ‘Abbas menikahkan puterinya dengan
‘Abdurrahman bin Al Hakam, lalu ‘Abdurrahman menikahkan puterinya dengan
Al ‘Abbas dan ketika itu terdapat mahar. Lantas Mu’awiyah menulis surat
dan dikirim pada Marwan. Mu’awiyah memerintahkan Marwan untuk memisahkan antara
dua pasangan tadi. Mu’awiyah berkata dalam suratnya, “Ini termasuk bentuk
nikah syighor yang telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Abu Daud no. 2075 dan Ahmad 4: 94. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan)
Bentuk nikah syighor dinilai terlarang karena telah menetapkan syarat yang
melanggar ketentuan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا
بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ مَنِ
اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ
مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ
“Kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak
diperbolehkan dalam kitab Allah? Persyaratan apa saja yang tidak diperbolehkan
dalam kitab Allah merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus
persyratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan
Allah lebih kuat untuk diikuti.” (HR. Bukhari no. 2155 dan Muslim no.
1504)
2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil yang dimaksud di sini adalah seseorang menikah wanita yang telah ditalak tiga, kemudian ia mentalaknya dengan tujuan supaya wanita ini menjadi halal bagi suami yang pertama. Nikah semacam ini terlarang, bahkan termasuk al kabair (dosa besar). Pria kedua yang melakukan nikah muhallil terkena laknat sebagaimana pria pertama yang menyuruh menikahi mantan istrinya.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, ia berkata :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil (laki-laki
yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan
menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan al muhallal lahu (laki-laki
yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri tersebut
dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” (HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu Majah
no. 1934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قاَلُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang taisil musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah muhallil. Allah akan melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR. Ibnu Majah no. 1936. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثًا، فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ مِنْهُ لِيَحِلَّهُ لأَخِيْهِ، هَلْ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ؟ قَالَ : لاَ، إِلاَّ نِكَاحَ رَغْيَةٍ، كُنَّا نَعُدُّ هَذَا سَفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dan
menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak
tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa adanya
persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal kembali bagi
saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya
yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka,
kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 2: 217.
Hakim berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim. Adz Dzahabi
pun menyatakan demikian).
3. Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak)
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’). yaitu : akad perkawinan yang dilakukan seorang lelaki terhadap wanita untuk satu hari, satu minggu, atau satu bulan.
Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah
ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur
(mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2:
99).
Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata :
فَأَقَمْنَا
بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ - ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ - فَأَذِنَ لَنَا
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ … ثُمَّ
اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم
“Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan wanita. … Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam lafazh lain disebutkan :
فَكُنَّ
مَعَنَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
بِفِرَاقِهِنَّ
“Wanita-wanita tersebut bersama kami selama tiga hari, kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpisah dari
mereka.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam lafazh lainnya lagi dari Sabroh Al Juhaniy, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ
النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Wahai sekalian manusia. Awalnya aku mengizinkan kalian untuk melakukan
nikah mut’ah dengan para wanita. Sekarang, Allah telah mengharamkan (untuk
melakukan mut’ah) hingga hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1406)
Riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mu’tah atau kawin kontrak adalah
nikah yang fasid, tidak sah. Sehingga dari sini pasangan yang menikah
dengan bentuk nikah semacam ini wajib dipisah. Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dipisah dalam hadits Sabroh di atas.
Al-Khithabi berkata : Pengharaman mut'ah adalah ijma', semua ulama telah sepakat kecuali sebagian ulama syi'ah. menurut prinsip-prinsipmereka, dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diperselisihkan hanya boleh bersandar kepada 'Ali.
Sedang dari 'Ali sendiri ada riwayat yang sah menatakan bahwa keabsaan nikah mut'ah itu telah mansukh (dihapus). Maka dari itu Al-Baihaqi menukilkan berita dari Ja'far bin Muhammad, bahwa ia pernah ditanyatentang nikah mut'ah, maka jawabnya : ''Nikah mut'ah adalah zina itu sendiri."
Bagaimana jika tidak ada di perjanjian awal, namun hanya ada di niatan yaitu
jika si pria kembali ke negerinya, ia akan mencerai istrinya? Hal ini beda
dengan nikah mut’ah di awal. Yang kedua adalah nikah dengan niatan cerai, si
istri awalnya tidak tahu dengan niatan ini.
Menurut kebanyakan ulama, jika seseorang menikah dan tidak membuat syarat,
namun dalam hati sudah diniatkan untuk bercerai pada waktu tertentu, nikahnya
tetap sah. Alasannya, karena niatan seperti itu bisa saja terwujud, bisa saja
tidak. Namun ulama lainnya menganggap nikah bentuk kedua ini masih termasuk
nikah mut’ah seperti pendapat Al Auza’i dan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin (Shahih Fiqh Sunnah, 2:
101).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan :
فَأَمَّا
أَنْ يَشْتَرِطَ التَّوْقِيتَ فَهَذَا ” نِكَاحُ الْمُتْعَةِ ” الَّذِي اتَّفَقَ
الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِهِ … وَأَمَّا إذَا نَوَى
الزَّوْجُ الْأَجَلَ وَلَمْ يُظْهِرْهُ لِلْمَرْأَةِ : فَهَذَا فِيهِ نِزَاعٌ :
يُرَخِّصُ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَيَكْرَهُهُ مَالِكٌ وَأَحْمَد
وَغَيْرُهُمَا
“Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka
inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh
empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah
sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah
dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh
para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah
semacam ini. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang
(memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 107-108)
Dinukil dari Imam Nawawi :
قَالَ
الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته
أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ،
وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ
الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ،
وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ
Al Qodhi Husain berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menikah dan niatnya hanya tinggal bersama si wanita selama waktu tertentu (nikah dengan niatan cerai, pen), nikah yang dilakukan sah dan halal. Nikah semacam ini tidak termasuk nikah mut’ah. Disebut nikah mut’ah jika ada persyaratan di awal. Namun Imam Malik mengatakan, “Melakukan nikah dengan niatan cerai bukanlah tanda orang yang memiliki akhlak yang baik.” Al Auza’i sedikit berbeda dalam hal ini, beliau berkata, “Nikah semacam itu tetap termasuk nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan sama sekali.” (Syarh Muslim, 9: 182)
Tujuan Nikah Mut'ah adalah semata-mata melampiaskan syahwat, tidak ada tujuan untuk menurunkan keturunan ataupun mempertahankan generasi, padahal keturunan adalah tujuan asasi dari pernikahan. Dengan demikian, jika dilihat dari segi keinginan untuk melampiaskan nafsu semata-mata, maka mut'ah itu persis zina.
Lain dari itu, nikah mut'ah sangat membahayakan kaum wanita. karena disitu wanita dianggap seperti barang dagangan yang bisa dipindah-pindahkan dari satu kelain tangan, disamping mengancam masa depan anak-anak bila terjadi kehamilan. Karena mereka takkan mendapatkan perlindungan rumah-tangga yang kokoh, yang mendidik dan mengantarkan pertumbuhan mereka. (Sayid Sabiq : Fiqh As-Sunnah, j. 2 h. 36).
4. Nikah dalam Masa ‘Iddah
4. Nikah dalam Masa ‘Iddah
Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa ‘iddahnya.
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak boleh menikahi wanita yang berada pada masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi sia-sia (karena kacaunya nasab).” (Al Majmu’, 16: 240)
‘Iddah itu ada tiga macam :
a. ‘Iddah dengan hitungan quru’
‘Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan diceraikan suaminya adalah dengan hitungan quru’.
Allah Ta’ala berfirman :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al Baqarah: 228).
Mengenai makna quru’, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru’ adalah suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah lagi. Ada pula ulama yang menganggap quru’ adalah haidh.
Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh,
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ فَانْظُرِى إِذَا
أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ فَتَطَهَّرِى ثُمَّ
صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ
“Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308)
b. ‘Iddah dengan hitungan bulan‘Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ
وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq: 4).
(2) masa ‘iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi sudah haidh ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati bukanlah wanita hamil. Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّـهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ،
إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)
c. ‘Iddah wanita hamil
Masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan baik ‘iddahnya karena talak atau karena persetubuhan syubhat (seperti karena dihamili karena zina). Karena tujuan dari masa ‘iddah adalah untuk membuktikan kosongnya rahim, yaitu ditunggu sampai waktu lahir. Allah Ta’ala berfirman :
أُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4).
Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya berakhir
ketika ia melahirkan, baik masa tersebut lama atau hanya sebentar.
Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah meninggalnya suaminya, masa
‘iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah.
5. Nikah dengan Mantan Istri yang Sudah Ditalak Tiga
Nikah seperti ini terlarang. Mantan isteri yang telah ditalak tiga tidak bisa dinikahi lagi oleh suaminya yang dulu sampai ia menikah dengan pria yang lain dan bercerai dengan cara yang wajar (bukan akal-akalan). Allah Ta’ala berfirman :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا
تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 230)
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama.
Dalil yang menunjukkan harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ لاَ حَتَّى تَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ
“Apakah engkau ingin kembali pada Rifa’ah (suamimu yang pertama). Tidak boleh sampai engkau merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 1433)
6. Kawin Lari
Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian. Bisa jadi, tanpa wali nikah, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan kumpul kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin hubungan RT secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si wanita, bukan laki-laki.
Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah membuat urutan :
- Ayah
- Kakek
- Saudara laki-laki
- Anak saudara laki-laki (keponakan)
- Paman
- Anak saudara paman (sepupu)
Dalil-dalil yang mendukung mesti adanya wali wanita dalam nikah :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ
نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)
Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”.
Hal ini merupakan pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah
bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat
Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’I,
Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi
Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Abdullah bin
Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (Syarh Sunnah, 9: 40-41).
Demikianlah sebagian pemuda, demi cinta sampai ingin mendapat murka
Allah. Kawin lari sama saja dengan zina karena status nikahnya tidak
sah.
Pertama: Nikah Syighor
Bentuk nikah syighor adalah si A menikahkan anak, saudara atau yang berada di bawah perwaliannya pada si B, namun dengan syarat si B harus menikahkan pula anak, saudara atau yang di bawah perwaliannya pada si A. Bentuk nikah syighor terserah terdapat mahar ataukah tidak. Keharaman bentuk nikah seperti ini telah disepakati oleh para ulama (baca: ijma’), namun mereka berselisih apakah nikahnya sah ataukah tidak. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah seperti ini tidaklah sah. Alasan jumhur adalah dalil-dalil berikut ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشِّغَارِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor.” (HR. Muslim no. 1417)Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ –
صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ
الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ ، لَيْسَ
بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah
syighor yang bentuknya: seseorang menikahkan anaknya pada orang lain
namun ia memberi syarat pada orang tersebut untuk menikahkan anaknya
untuknya dan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415)Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشِّغَارِ. زَادَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَالشِّغَارُ
أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ زَوِّجْنِى ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ
ابْنَتِى أَوْ زَوِّجْنِى أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bentuk nikah
syighor.” Ibnu Numair menambahkan, “Bentuk nikah syighor adalah
seseorang mengatakan pada orang lain: ‘Nikahkanlah putrimu padaku dan
aku akan menikahkan putriku padamu, atau nikahkanlah saudara perempuanmu
padaku dan aku akan menikahkan saudara perempuanku padamu’.” (HR. Muslim no. 1416)Dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz Al A’roj, ia berkata,
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ أَنْكَحَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
الْحَكَمِ ابْنَتَهُ وَأَنْكَحَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنَتَهُ وَكَانَا
جَعَلاَ صَدَاقًا فَكَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى مَرْوَانَ يَأْمُرُهُ
بِالتَّفْرِيقِ بَيْنَهُمَا وَقَالَ فِى كِتَابِهِ هَذَا الشِّغَارُ
الَّذِى نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Al ‘Abbas bin ‘Abdillah bin Al ‘Abbas menikahkan puterinya dengan
‘Abdurrahman bin Al Hakam, lalu ‘Abdurrahman menikahkan puterinya dengan
Al ‘Abbas dan ketika itu terdapat mahar. Lantas Mu’awiyah menulis
surat dan dikirim pada Marwan. Mu’awiyah memerintahkan Marwan untuk
memisahkan antara dua pasangan tadi. Mu’awiyah berkata dalam suratnya, “Ini termasuk bentuk nikah syighor yang telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud no. 2075 dan Ahmad 4: 94. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)Bentuk nikah syighor dinilai terlarang karena telah menetapkan syarat yang melanggar ketentuan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَالُ أُنَاسٍ
يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ مَنِ اشْتَرَطَ
شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ
مَرَّةٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ
“Kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah? Persyaratan apa saja yang tidak diperbolehkan dalam kitab
Allah merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persyratan.
Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah
lebih kuat untuk diikuti.” (HR. Bukhari no. 2155 dan Muslim no. 1504)Kedua: Nikah Muhallil
Kita telah ketahui bahwa maksimal talak adalah sampai talak ketiga. Dua talak sebelumnya, masih bisa ada rujuk. Jika suami telah mentalak istri sampai tiga kali, maka ia tidak bisa rujuk kembali sampai si istri nikah dengan pria lain dan cerai lagi dengan cara yang tidak diakal-akali.
Nikah muhallil yang dimaksud di sini adalah seseorang menikah wanita yang telah ditalak tiga, kemudian ia mentalaknya dengan tujuan supaya wanita ini menjadi halal bagi suami yang pertama. Nikah semacam ini terlarang, bahkan termasuk al kabair (dosa besar). Pria kedua yang melakukan nikah muhallil terkena laknat sebagaimana pria pertama yang menyuruh menikahi mantan istrinya.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil
(laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu
dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan al
muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas
isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” (HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu Majah no. 1934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ
بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قاَلُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ:
هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang taisil musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah muhallil. Allah akan melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR. Ibnu Majah no. 1936. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ
عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثًا،
فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ مِنْهُ لِيَحِلَّهُ
لأَخِيْهِ، هَلْ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ نِكَاحَ رَغْيَةٍ،
كُنَّا نَعُدُّ هَذَا سَفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan
isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi
wanita tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar
wanita tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita
tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau
menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap
hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 2: 217. Hakim berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim. Adz Dzahabi pun menyatakan demikian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
diharapkan berposting dengan sopan